Forge Journalism 1

MINIBUS kami bakal datang di lokasi pukul 07.00 pagi. Sehari sebelumnya, mas Azis, Manager Advokasi Ecoton itu mengabarkan bahwa titik kumpul kami di Taman Apsari, depan gedung Grahadi. Aku sampai lokasi tepat waktu; justru datang lebih awal dari jadwal bertemu yang ditentukan. Tapi sayang, di sana masih belum ada siapa-siapa.
     Aku mampir ke Circle K untuk membeli minuman. Tak selang lama, satu per satu jurnalis yang diundang Ecoton untuk datang ke kaki Gunung Anjasmoro, mulai tampak ujung hidungnya. Awalnya, ada lima orang yang ikut tumpangan minibus kami; yaitu mas Fully, mas Andre, mas Ali, mas Dhona, dan aku.
     Di depan Circle K, kami mengobrol ringan soal cuaca media-media di Kota Surabaya. Termasuk, cara korporasi membayar hasil kerja pewarta. Kata mas Fully, portal berita yang menggaji jurnalis melalui jumlah views, merupakan cara-cara yang tidak layak dalam mengapresiasi karya jurnalistik pewarta. Bila pengunjung laman sepi, artinya jurnalis tidak mendapat upah dari hasil kerjanya.
     "Mending mengirim foto-foto [serta tulisan hasil liputan] di media-media lain. Seperti, Project Multatuli, ADN, atau New Naratif. Temukan isu menarik, kamu pitching ke beberapa media itu, pasti salah satu [media] bakal nyantol," katanya saat mengobrol dengan mas Dhona, hari Minggu (27/02).
     Saat ini, mas Dhona merupakan fotografer di Harian Disway. Dulu sempat aktif menjadi pewarta foto di Surabaya Pagi (SP) dan Pikiran Rakyat (PR). Ia juga menggarap portal Zona Surabaya Raya, salah satu inkubator PR, bersama rekan dekatnya dari SP. Ia termasuk fotografer andal di Surabaya. Ketika aku masih di Harian Disway, mas Dhona acapkali membantu mengamankan foto peliputanku.
     Sedangkan, mas Fully, merupakan fotografer senior yang hasil potretannya banyak bertebaran di media-media asing seperti the Guardian, ABC News, Wall Street Journal, dan lain-lain. Seringkali, ia mengerjakan liputan lepas dengan Reno Surya, untuk media-media seperti VICE Indonesia, misalnya. Belakangan ia mengirim fotonya setiap minggu sekali di Pilar dengan gaji yang lumayan.
     Mengenai project lepas, kata mas Andre, beberapa LSM seperti KOMPAK sering membuka kolaborasi penggalian data berupa audio, video, foto, dan transkip; semua file-file itu berbentuk setengah jadi. Justru, bukan konten matang yang siap disajikan untuk pembaca di media sosial. Untuk outline pertanyaan sudah disediakan LSM. Pewarta tinggal menemui dan mengabadikan momen percakapan narasumber.
     "Kita cuma sediakan video wawancara dan transkip mentah dengan narasumber yang sudah mereka tentukan. Per project peliputan, jurnalis bisa dapat sampai jutaan rupiah," kata Sekretaris AJI Surabaya berbagi cerita sambil menunggu rombongan kami lengkap. Ia mengambil sebatang rokok Camel kemasan option purple, lantas membakarnya.
     Menjadi jurnalis, memang tidak selalu monoton dengan gaji pokok dari korporasi media setiap bulan. Upah yang diperoleh jurnalis lebih beragam dan fleksibel. Tentu saja, mereka perlu mengandalkan kompetensi, reputasi, serta jaringan yang dimiliki. Tampak sulit apabila polosan, tanpa bekal sedikitpun.
     Ada jurnalis yang bergerak di peliputan kolaborasi dengan pewarta dari media lain, ada pula yang gemar pitching isu-isu ke media asing, ada juga yang mengikuti fellowship untuk mendanai tulisan mereka, atau mendaftarkan karyanya di kompetisi-kompetisi yang diadakan organisasi profesi seperti AJI. Banyak jalan yang bisa dipakai oleh jurnalis untuk mendapat upah.
     Sekali menangkap ikan dan mendapatkan project peliputan, jurnalis lepas bakal memperoleh upah lebih besar dari gaji pokok pewarta yang dikontrak perusahaan media. Tapi sayang, pendapatan jurnalis lepas tak menentu, naik-turun, dan jauh dari kata pasti. Itu yang berbahaya, apalagi untuk kelangsungan hidup anak dan istri di rumah. Kadang upah dari satu peliputan lepas baru dapat dicairkan sekira satu-tiga bulan setelah tulisan itu diunggah.
     Tapi, aku tertarik dengan buah pikir mas Adi, jurnalis lepas di Jakarta. Saat membaca tulisan mengenai pandemi Covid-19 di Medium miliknya, ada istilah Multimedia Jurnalisme. Bagiku, itu istilah yang terdengar asing di telinga. Namun, menarik untuk disimak dan didalami.
     Kata mas Adi, jurnalis perlu menguasi beragam kompetensi, tidak hanya fokus pada jenis media mereka. Ia menyebut kendala yang dihadapi itu dengan istilah regregasi atau pemisahan kerja-kerja jurnalis. Sehingga, perlu adanya kompetensi yang lengkap agar satu jurnalis bisa mengerjakan semua; tulisan, foto, video, dan editing sekaligus. Kompetensi semacam itu bisa menambah value dan pendapatan pewarta tiap bulannya.
     Setelah mengobrol gayeng, kami berlima merapat ke minibus yang diparkir di lahan kosong, letaknya tak jauh dari Circle K. Di dalam mobil, mas Fully duduk di depan dengan supir, mas Ali dan mas Dhona di baris kedua, mas Andre dan aku di baris ketiga, kursi belakang masih kosong penumpang. Sudah pukul 07.15 pagi, waktunya kami berangkat.
     Di tengah perjalanan. Satu orang lagi, mas Petrus, baru bergabung dengan kami saat melewati Jalan Darmo, depan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Lelaki itu duduk di trotoar, menunggu dengan sabar. Ketika minibus kami datang, ia masuk dan duduk di kursi belakang. Walau ada sedikit drama pintu mobil yang sulit dibuka dari dalam, jadi harus dibuka dari luar dengan bantuan supirnya.
     Mas Petrus merupakan kontributor Mongabay di Surabaya. Media yang fokus memperhatikan lingkungan dan satwa-satwa. Mereka menulis soal bencana alam dan pencemaran yang merusak ruang hidup manusia, hewan, dan tumbuhan. Sama seperti Gafur Abdullah, kawanku dari Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Pamekasan.
     Di perjalanan, aku mengobrol dengan mas Dhona mengenai keputusanku resign dari Harian Disway, media milik Dahlan Iskan, pada hari Kamis (24/02). Aku pikir, budaya konvensional di tubuh redaksi sudah usang. Kalimat kasar dari redaktur, tak membikin karya jurnalistik yang dikerjakan pewarta semakin membaik. Alih-alih semangat, justru mereka burnout dan tak betah bekerja dengan tim redaksi semacam itu.
     "Harusnya, ada cara yang lebih baik ketimbang ‘marah-marah’, mas. Nggak semua penugasan dan evaluasi disampaikan dengan ‘kata-kata kasar’, sudah nggak relevan [apalagi dengan beragam isu-isu soal kesehatan mental jurnalis yang jadi perhatian AJI]," kataku sambil bercerita.
     Bukan mengenai kuat atau tidaknya menerima tekanan. Namun, jurnalis dan manajemen media mainstream seharusnya mulai memperhatikan isu-isu mental health. Memberi perhatian pada psikologi kerja jurnalis, sama pentingnya seperti mengupayakan ruang-ruang aman bagi perempuan agar tidak terkena sexual violence di tempat kerja mereka.
     Dalih-dalih bahwa newsroom dan ruang redaksi sudah biasa dibanjiri umpatan-umpatan tajam dari redaktur ke wartawan; agaknya membikin kita menormalisasi tindakan-tindakan yang menyerang kesehetan mental jurnalis itu sendiri. Padahal, AJI berupaya memperjuangkan empat aspek perlindungan pada pewarta; termasuk fisik, psikis, hukum, dan digital.
     Sedangkan, mas Fully, mas Ali, mas Andre, dan mas Petrus, membahas banyak hal soal artis-artis yang sedang viral, penyanyi sekelas Ariel Noah, pemerintah kota dan pelayanannya kepada masyarakat, hingga invasi Rusia ke Ukraina yang lagi panas. Aku menyimak perbincangan mereka, sambil menahan pusing. Iya, aku agak mabuk saat itu.
     Seingatku, mas Ali sempat membahas mengenai liputan-liputan menarik yang aku agak lupa judulnya apa saja dan diangkat oleh media mana. Mas Ali merupakan fotografer dari Sindo dan iNews yang masuk di MNC Group. Pertama kali, mengenal mas Ali di agenda kuliner yang diadakan Hotel Royal Tulip Surabaya tahun 2021.
     Perkiraan kami, sampai lokasi pukul 09.00 pagi. Saat itu, kami diundang Ecoton untuk hadir di launching Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN). Lokasinya di tempat kopi Tanah Senja, Wonosalam, Jombang. Tempat kopi itu ada di sebelah sungai Gogor, bagian hulu dari sungai Brantas di kaki Gunung Anjasmoro. (*)

Postingan populer dari blog ini

Forge Journalism 2

Bertemu Khalid setelah sekian lama, tapi yang dibahas masa lalu terus...