Forge Journalism 2

KEPALA masih terasa pusing. Minibus kami tak kunjung sampai di lokasi, perjalanan begitu lama. Prediksi awal, perjalanan kami memakan waktu dua jam, tapi hingga mendekati pukul 09.00 pagi belum ada tanda-tanda keberadaan kaki Gunung Anjasmoro. Aku menyiapkan kantong plastik hitam untuk berjaga-jaga, apabila perut mendadak mual.
     Apalagi, rute yang kami lewati ketika masuk wilayah Jombang lumayan berkelok-kelok. Getaran bagian dalam mobil saat melindas jalan berlubang bikin kepala makin pening, ditambah aroma Air Conditioner minibus yang begitu menjemukan. Tapi, pemandangan di luar jendela mobil terlihat indah: ada sawah-sawah, bukit, sedangkan yang agak jauh lagi tampak seperti gunung menjulang. Apakah itu kaki Gunung Anjasmoro yang akan kami kunjungi? Aku tidak tahu.
     Sayang, pemandangan yang indah itu belum bisa aku nikmati dengan tenang. Mabuk perjalanan sedikit mengganggu konsentrasi. Sesekali rute menanjak membuat minibus terasa berat, lalu tiba-tiba melandai hingga perlu siaga menekan pedal rem. Perut terasa makin mual, aku memilih memejamkan mata di perjalanan, selagi belum sampai.
     Lalu, mas Fully yang duduk di bagian depan samping supir, melemparkan pertanyaan kepada kami. "Kalian pesan makanan apa? Coba disebutin, makan dan minumnya," tuturnya, sambil mengontak salah satu tim Ecoton yang sudah sampai di lokasi ekspedisi.
     Aku memesan nasi goreng dan es teh, pikirku meminum es akan melegakan tenggorokan dan mengurangi pening akibat mabuk perjalanan. Pesananku sengaja sama seperti menu yang ditulis mas Andre. Aku tak mau ribet, kepala sudah pusing, perut terasa dikocok, sampai lokasi yang penting bisa makan untuk recharge energi yang terkuras selama di dalam minibus.
     "Iki arek-arek luwe, durung mangan. Titip peseno mangan sekalian yo, tak kirim list pesenane [ini teman-teman lapar, belum makan. Titip pesankan makan sekalian ya, aku kirim list pesanannya]," ujar mas Fully menjawab suara salah satu orang di ujung telepon. “15 menit lagi, sampai lokasi," imbuhnya.
     Udara segar mulai merasuk di sela-sela kulit dan hidung. Perjalanan kami terasa menuju dataran yang agak tinggi: kaki Gunung Anjasmoro, Wonosalam, Jombang. Sehingga suhu udara jadi dingin, kendati tidak sedingin suhu malam hari ketika bermalam di Malang, Batu, atau Puncak. Tidak sedingin pula saat Kota Surabaya didera hujan es batu seukuran kerikil.
     Tepat sekira pukul 09.15 pagi, kami sampai di lokasi. Di sana, sudah berdiri mas Aziz yang menunggu kedatangan minibus kami. Dan, ada pula beberapa tim Ecoton lainnya. Tak menunggu lama, aku turun dari minibus, bergegas mencari tempat untuk menuangkan isi perut yang sejak tadi terasa mual.
     Aku muntah. Aroma cairan yang keluar seperti bau-bau jeruk. Ternyata, aku baru ingat, cairan itu merupakan minuman sari-sari jeruk Florida yang aku beli di Circle K sebelum berangkat ke Wonosalam. Namun, tak banyak makanan yang keluar dari perut, untung hanya sebatas cairan minuman itu, jadi tak kehabisan banyak nutrisi makanan.
     Rekan-rekan yang lain sudah ke meja tamu duluan, sedangkan aku masih duduk bersimpuh di tepi sungai Gogor, sambil memuntahkan uneg-uneg di dalam perut. Mas Fully melihat dari kejauhan, ia menertawaiku karena tahu kalau aku mabuk perjalanan.
     "Duh, mas. Jalan pas menanjak tadi berliku-liku banget, kepalaku jadi pusing," kataku sambil tertawa balik pada mas Fully yang menunggu di belakang minibus. Sejauh ini, mas Fully merupakan bagian dari tim dokumentasi kegiatan rutin Ecoton selama meneliti mikroplastik di sungai-sungai pulau Jawa.
     Di lokasi, ada dua pohon durian yang berdiri gagah di depan pintu masuk tempat kopi yang bernama Tanah Senja. Sebelah kirinya, tepat di tepi sungai, ada hewan peliharaan yang berbentuk seperti ayam Kalkun , namun aku tidak tahu pasti itu hewan apa, hanya saja mirip ayam dengan ukuran tubuh yang lebih besar.
     Serta, lokasi itu tampak rindang. Banyak pepohonan tumbuh di sekitar hulu sungai Brantas. Tapi, aku tak tahu nama-nama tanaman apa saja itu, seakan dari bentuknya tampak tak asing. Tanaman yang banyak tumbuh di tepian sungai, dataran tinggi, dan hutan-hutan pada umumnya.
     Tanah Senja ini langsung membiusku. Mendadak dibuat jatuh cinta dengan suasana yang disuguhkan. Terasa nyaman dan tenang, ingin berlama-lama di tempat ini. Cocok untuk tamasya dengan pasangan atau keluarga, meluangkan quality time bersama orang terdekat, hingga mengobrol hangat dengan mereka. Sepertinya menarik diagendakan pada waktu mendatang.
     Aku langsung teringat dengan konsep Permakultur milik Bumi Langit di Yogyakarta, yang dikelola oleh pak Iskandar. Variabel seperti pedesaan, lahan bertani dan berkebun, mengelola peternakan, adalah rutinitas yang ingin aku jalani di usia senja. Tapi, entah tempat yang cocok di mana, lantaran aku juga mempertimbangkan harga tanah yang terjangkau untuk membangun Permakultur.
     "Merupakan cara hidup yang merawat dua aktivitas sekaligus, yaitu aktivitas alam dan aktivitas manusia. Membikin siklus hidup sendiri yang keluar dari konsep hidup orang-orang kota yang penuh persaingan," kataku pada Alvina di Lokalisasi Kopi Kolokial sekitar bulan Januari 2022.
     Di jalan setapak Tanah Senja, Ecoton membuat terowongan dari 3.370 botol plastik sekali pakai. Jumlah itu setara dengan tiga tahun timbunan sampah botol anak muda yang hidup di perkotaan, seperti Kota Surabaya. Bila diamati, terowongan botol plastik sekali pakai itu disulap menjadi pintu masuk yang menawan dan memuat pesan-pesan menarik terkait pengurangan sampah plastik.
     Saat melewati terowongan itu, sama seperti melihat kilas balik sampah-sampah yang berserakan di sungai. Ingatan tentang warga Kota Malang yang menganggap sungai Brantas sebagai tempat sampah perlahan mencuat, sedih dan miris. Dari kemasan botol plastik itu, ada 93% air minum yang telah tercemar oleh mikroplastik dari wadah sekali pakai itu. Seakan tampak runyam, bila mikroplastik itu masuk ke tubuh kita.
     "Sebanyak satu juta botol plastik diproduksi setiap menit. Namun, hanya 50% botol plastik yang bisa didaur ulang. Serta, hanya 7% yang bisa dipakai menjadi botol kembali," kata Euromonitor Internasional yang tertulis di banner Ecoton.
     Sampai di ujung terowongan botol plastik itu, tampak mas Prigi menyambut kedatangan kami. Pria berkaos hijau itu mempersilakan kami duduk dan menikmati jamuan pembuka, seperti kopi, teh, makanan ringan, dan buah durian. Aku merasa lega sudah sampai di lokasi dan bisa menikmati pemandangan di sini.
     Sedangkan, di bagian ujung kanan terowongan ada lahan kecil yang dipakai untuk ekshibisi hasil potretan sampah plastik, botol sekali pakai, temuan mikroplastik, dan hasil kegiatan penelitian kualitas air yang dilakukan Ecoton di sungai-sungai pulau Jawa sepanjang tahun.
     Ada beberapa infografis juga yang menjelaskan bahaya sampah plastik, tentang kandungan mikroplastik yang mencemari sungai dan merusak kesehatan ikan. Serta, dampak jangka panjang yang didera anak-cucu di masa depan, hingga bagaimana upaya-upaya mengurangi sampah plastik yang perlu giat diberlakukan.
     Di sana, aku juga berkenalan dengan pak Amir, Manager Peneliti Ecoton sekaligus videografer ekspedisi yang dikerjakan Ecoton. Ia menjelaskan mengenai tempat ini: mulai dari Tanah Senja, sungai Gogor, kaki Gunung Anjasmoro, hulu sungai Brantas, dan aktivitas warga terhadap sungai selama ini. Ternyata, masih saja banyak yang membuang limbah domestik rumah tangga di sungai ini.
     "Nanti, kita akan berjalan ke hulu sungai [sekitar 500 meter dari Tanah Senja], untuk meneliti kualitas air di sungai Gogor. Di sebelah sana [sambil menunjuk] juga ada lahan yang dipakai camping, nanti kita ke sana. Sambil bertemu Polisi Air," tegasnya, memberi informasi pada kami yang baru saja datang.
     Pusing kepala mulai hilang. Diganti dengan kesegaran melihat ruang hidup yang begitu tenang dan tentram, hampir tidak aku temukan di Kota Surabaya. Berbeda dengan perkotaan yang riuh dan bising, di sini suasana begitu menenangkan hati. Tak lama, mas Prigi mengajak kami memetik buah durian langsung dari pohonnya. (*)

Postingan populer dari blog ini

Forge Journalism 1

Bertemu Khalid setelah sekian lama, tapi yang dibahas masa lalu terus...