Postingan

Pergi menuju kaki Gunung Anjasmoro Jombang sambil mabuk perjalanan (2/2)

KEPALA masih terasa pusing. Minibus kami tak kunjung sampai di lokasi, perjalanan begitu lama. Prediksi awal, perjalanan kami memakan waktu dua jam, tapi hingga mendekati pukul 09.00 pagi belum ada tanda-tanda keberadaan kaki Gunung Anjasmoro. Aku menyiapkan kantong plastik hitam untuk berjaga-jaga, apabila perut mendadak mual.      Apalagi, rute yang kami lewati ketika masuk wilayah Jombang lumayan berkelok-kelok. Getaran bagian dalam mobil saat melindas jalan berlubang bikin kepala makin pening, ditambah aroma Air Conditioner minibus yang begitu menjemukan. Tapi, pemandangan di luar jendela mobil terlihat indah: ada sawah-sawah, bukit, sedangkan yang agak jauh lagi tampak seperti gunung menjulang. Apakah itu kaki Gunung Anjasmoro yang akan kami kunjungi? Aku tidak tahu.      Sayang, pemandangan yang indah itu belum bisa aku nikmati dengan tenang. Mabuk perjalanan sedikit mengganggu konsentrasi. Sesekali rute menanjak membuat minibus terasa berat, lalu tiba-tiba melandai hingga perlu

Pergi menuju kaki Gunung Anjasmoro Jombang sambil mabuk perjalanan (1/2)

MINIBUS kami datang di lokasi pukul 07.00 pagi. Sehari sebelumnya, mas Azis, Manager Advokasi Ecoton itu mengabarkan bahwa titik kumpul kami di Taman Apsari, depan gedung Grahadi. Aku sampai lokasi tepat waktu; justru datang lebih awal dari jadwal bertemu yang ditentukan. Tapi sayang, di sana masih belum ada siapa-siapa.      Aku mampir ke Circle K untuk membeli minuman. Tak selang lama, satu per satu jurnalis yang diundang Ecoton untuk datang ke kaki Gunung Anjasmoro, mulai tampak ujung hidungnya. Awalnya, ada lima orang yang ikut tumpangan minibus kami; yaitu mas Fully, mas Andre, mas Ali, mas Dhona, dan aku.      Di depan Circle K, kami mengobrol ringan soal cuaca media-media di Kota Surabaya. Termasuk, cara korporasi membayar hasil kerja pewarta. Kata mas Fully, portal berita yang menggaji jurnalis melalui jumlah views, merupakan cara-cara yang tidak layak dalam mengapresiasi karya jurnalistik pewarta. Bila pengunjung laman sepi, artinya jurnalis tidak mendapat upah dari hasil ker

"Aku bilang ke direktur, agar aku tetap bisa bekerja di sana. Apalagi mencari kerja juga tidak mudah"

TEMPAT kopi itu, Samata House, menyerupai rumah tinggal keluarga. Langgam bangunan tersebut hampir seperti rumah-rumah pada umumnya; berpagar hitam, ubin marmer berkelir krem, jendela dan pintunya mirip desain klasik era kolonial di Surabaya.      Bagian plester bawah pagar, dijadikan meja untuk meletakkan minum, lalu diberi kursi kecil berjajar menambah suasana nyaman untuk mengobrol dengan satu-dua orang. Tempat itu, sering dipakai lokasi diskusi beberapa pegiat kesetaraan gender.      Sabtu, 5 Maret 2022, aku membuat janji bertemu dengan jurnalis perempuan yang baru saja pindah media tempat bekerja. Sebut saja, W, 2-3 tahun lalu dia pernah bekerja di media lokal Malang; kantor lamaku juga. Rencananya kami ingin bertanya kabar, membahas isu-isu lokal, dan berbagi ulasan soal pekerjaan.      Sore itu, pukul 17.00, W sampai Samata House lebih dulu. Dia duduk di pojokan, sambil sibuk mengetik sesuatu di handphone; aku duga dia menulis berita. Dan, ternyata benar; dia mengejar topik kela