"Aku bilang ke direktur, agar aku tetap bisa bekerja di sana. Apalagi mencari kerja juga tidak mudah"

TEMPAT kopi itu, Samata House, menyerupai rumah tinggal keluarga. Langgam bangunan tersebut hampir seperti rumah-rumah pada umumnya; berpagar hitam, ubin marmer berkelir krem, jendela dan pintunya mirip desain klasik era kolonial di Surabaya.
     Bagian plester bawah pagar, dijadikan meja untuk meletakkan minum, lalu diberi kursi kecil berjajar menambah suasana nyaman untuk mengobrol dengan satu-dua orang. Tempat itu, sering dipakai lokasi diskusi beberapa pegiat kesetaraan gender.
     Sabtu, 5 Maret 2022, aku membuat janji bertemu dengan jurnalis perempuan yang baru saja pindah media tempat bekerja. Sebut saja, W, 2-3 tahun lalu dia pernah bekerja di media lokal Malang; kantor lamaku juga. Rencananya kami ingin bertanya kabar, membahas isu-isu lokal, dan berbagi ulasan soal pekerjaan.
     Sore itu, pukul 17.00, W sampai Samata House lebih dulu. Dia duduk di pojokan, sambil sibuk mengetik sesuatu di handphone; aku duga dia menulis berita. Dan, ternyata benar; dia mengejar topik kelangkaan minyak goreng serta kecelakaan bus di Tol Dupak Surabaya, KM 4.400, yang menewaskan 3 orang.
     Kecelakaan bus rombongan asal Palembang yang berziarah dari makam Sunan Ampel itu, membuatku berpikir: banyak orang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Entah karena ekonomi sulit, harga-harga naik, atau pekerjaan yang tak kunjung jelas. Setir bus diambil alih salah satu penumpang, petaka pun tak terhindarkan.
     Mimik wajah penumpang bus bisa saja bahagia, namun di benak mereka -kita tidak tahu, bisa saja- berkelindan rasa cemas, gelisah, tak mengerti hidup bakal dibawa ke mana: aksi nekat itu kemudian muncul, yang membahayakan nyawa orang lain.
     Sudah sekian bulan aku dan W tidak bersua. Seingatku, terakhir pada 28 November 2021, saat mengikuti pelatihan AJI Surabaya "Memberi Anak Ruang Bersuara" di Hotel 88 Kedungsari. Tidak ada percakapan panjang, aku pikir dia baik-baik saja dengan iklim kantornya.
     "Sebentar, aku selesaikan berita dulu. Tinggal dua lagi," katanya, sambil menelepon satu-dua narasumber dari kepolisian kota dan provinsi, untuk memperbarui data-data tragedi nahas di Jalan Tol Dupak arah Perak, Surabaya.
     Oke, selesaikan dulu baru kita ngobrol, sahutku. Aku membuka Twitter untuk mengamati isu hangat dari warganet. Pembahasan soal invasi Rusia-Ukraina masih memenuhi lini masa. Diikuti hiruk pikuk kabar antrian minyak goreng.
     Baru-baru ini, per Februari 2022, dia pindah kerja ke media lain yang menurutku lebih baik, bila dibandingkan dengan media lamanya. Aku amati, media barunya begitu perhatian dengan kesehatan mental jurnalis.
     Aku masih ingat, ketika Sasmito Madrim, Ketua AJI Indonesia menjelaskan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Jurnalis selama pandemi Covid-19. Ia menegaskan bahwa jurnalis seringkali rentan risiko pada 4 aspek: fisik, psikis, digital, dan hukum.
     “Artinya, kalau kita bicara soal keselamatan kerja [fisik, psikis, digital, dan hukum], yang di depan mata ialah serangan pada jurnalis. Masih marak di tengah pandemi Covid-19, [serangan itu terjadi] cukup sistemik,” ujarnya, Selasa, 4 Januari 2022, melalui Zoom Cloud Meeting.
     Serangan terhadap jurnalis yang dimaksud Sasmito tidak hanya bersumber dari polisi, TNI, atau birokrasi. Namun, pikirku, pihak media tempat bekerja pun sering memperlakukan jurnalis tidak layak, ingkar dari K3; terutama gaji, mental health, tekanan verbal, dan target harian. Seperti yang pernah dialami W di media lamanya.
     Dia meletakkan handphone. Kemudian, W merapikan meja dan tempat duduk, lantas melemparkan pertanyaan padaku, "Mulai dari mana kita bercerita?" ujarnya. Aku mulai bertanya soal kabar pekerjaannya, lantas dia menjelaskan.
     Usai wisuda dari kampus terbaik di Malang, W menjadi jurnalis di kota itu. Sekira dua bulan, dia pindah, mencari peruntungan menjadi jurnalis di ibu kota provinsi Jawa Timur: Surabaya. Tidak lama kemudian, dia mendapat media tempat kerja yang baru.
     Cerita W dimulai dari sini. Baru dua minggu bekeja, W sudah didepak dan terkena PHK mendadak. Alasannya satu: peformanya tak sesuai harapan direktur. Tapi, W berupaya melakukan negosiasi agar tetap bekerja di situ, setidaknya untuk mencari pengalaman baru.
     "Aku bilang ke direktur, agar aku tetap bisa bekerja di sana. Aku ingin menambah pengalaman, apalagi mencari kerja juga tidak mudah," katanya, sambil mengingat momen-momen pahit 2 tahun lalu.
     Benar, W diperbolehkan tetap bekerja menjadi jurnalis di sana. Tapi, selama dua bulan berjalan, gaji yang diperoleh sangat tidak layak; jauh dari gaji yang seharusnya diterima lulusan sarjana. Dia diberi upah Rp700 ribu per bulan, namun tidak ditarget jumlah berita.
     "Untuk uang tambahannya, aku diminta [direktur dan jajaran redaksi] cari iklan-iklan dari narasumber. Kadang, tiap selesai wawancara, aku langsung menodong untuk menawari pasang iklan di mediaku," imbuhnya.
     Padahal di belahan dunia lainnya; media-media di Amerika Serikat telah disentil oleh Bill Kovach dan Tom Rosential sekilas dalam bukunya "Sembilan Elemen Jurnalisme". Serta, dikutip pula dalam buku Andreas Harsono "Jurnalisme Sastrawi".
     Bahwa, media tidak boleh mengaduk urusan jurnalistik dan iklan. Dalam "layout" di produk cetak dan online, media perlu memberi garis dinding api atau "firewall" untuk membedakan mana berita dan mana iklan, agar tidak buram. Tapi, hal-hal itu justru tak diterapkan dalam jurnalistik di Indonesia.
     Kekhawatiran dalam mencampur urusan peliputan dan iklan, membuat pembaca tak lagi menangkap sisi independensi media. Media berpotensi mengangkat berita sesuai pesanan iklan, itu membuat marwah media sebagai penyambung lidah rakyat tak berjalan baik; karena hanya pemodal yang dapat menyebarkan "suara".
     Praktik semacam itu masih banyak ditemukan pada media-media di Surabaya, khususnya media yang pernah menjadi tempat kerja W selama 2 tahun. Tak pahamnya pimpinan redaksi pada soal semacam itu, membikin jurnalis tak bisa fokus menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
     "Aku kadang malu, baru kenal sama narasumber, tapi [terpaksa] menawari iklan ke mereka. Bagaimana lagi?" jelas W, pasrah. Ketika dia cerita, batinku bergejolak tidak karuan, perasaan miris, sedih, dan kalut berkelindan tak henti memenuhi pikiran.
     Selain digaji Rp700 ribu selama dua bulan pasca terkena PHK, W bercerita bila jurnalis-jurnalis di media itu pernah dikenakan denda Rp50 ribu per hari bila telat mengirim daftar liputan di malam harinya.
     Bayangkan, bila pewarta telat mengirim "list" sekira 1-5 menit saja selama 20 hari, gaji mereka akan terpotong Rp1 juta. Bila lebih dari 20 hari, tentu potongan gaji makin banyak lagi. Sehingga uang bulanan yang diterima bakal tak utuh, alih-alih gaji yang didapat sesuai UMR; nyatanya tidak.
     Pada bulan pertama, kedua, dan ketiga, peraturan itu tak berjalan konsisten. Tapi, di bulan berikutnya, tanpa diberlakukan peraturan yang jelas, tiba-tiba gaji W dipotong hampir 50 persen. Alasannya: selama ini W sering telat mengirim daftar peliputan, padahal dia masih mengirim berita setiap hari.
      Artinya, ketika jurnalis tak mengirim list peliputan; kerja lapangan selama sehari itu tak dianggap masuk. Dan, berita-berita yang dikirim hari itu tak dihitung sebagai pemenuhan kewajiban harian. Sehingga, sama saja: jurnalis dirugikan banyak.
     "Lalu, aku bilang, yaudah ambil aja semua gajiku gapapa. Sekalian aku nggak gajian. Dari pada cuma dapat segini," jelasnya, "padahal hanya telat 1 menit, 2 menit, untuk kirim list, itu sudah bakal dikenakan denda," imbuhnya.
     Selama 2 tahun W bertahan di media itu, lantaran tidak ada pekerjaan yang bisa menampungnya. Sehingga, dia menguatkan diri dan mengikuti iklim kerjanya; kendati agak "toxic" dan melelahkan psikologis.
     Setelah dua bulan menerima bayaran Rp700 ribu saja, di bulan berikutnya lantaran W rajin mengirim berita 5-6 per hari, upah kerjanya dinaikkan menjadi Rp2,5 juta per bulan; dengan target dan tugas yang sama, yakni menulis 5-6 serta mencari iklan-iklan.
     Menurut survei AJI Surabaya di tahun 2011, upah layak jurnalis Kota Pahlawan ada di angka Rp3,9 juta. Survei pasar itu diperoleh atas 24 item serta 10 persen komponen tabungan barang sesuai acuan AJI Indonesia. Hasil survei upah layak itu, 11 tahun lalu, masih lebih banyak ketimbang upah yang diterima W di tahun 2020-2021.
     Sekarang W sudah mendapat pekerjaan di media yang lebih baik. Salah satu media yang memperhatikan kesehatan mental jurnalis, memberi fasilitas peliputan, dan membayar layak setiap pewartanya; menurutku media W yang baru sudah menyadari pentingnya K3.
     "Iya, di kantor yang sekarang, ada pelayanan konsultasi gitu buat jurnalis. Jadi, ngerasa seneng aja, karena ada fasilitas seperti itu," tegasnya, "lalu, bila hari libur, aku benar-benar menikmati liburan. Nggak dikejar liputan lagi," imbuhnya.
     Media tempat kerja W yang baru, memberi gaji sesuai UMR Surabaya. Saat aktif bekerja di sana, W dibekali handphone dan peralatan yang mendukung peliputan di lapangan. Syukur, dia tampak betah di tempat kerja barunya.
     Namun, bukan berarti selesai. Persoalan itu masih menjamur di media-media lokal hingga nasional di Surabaya. Ada, jurnalis yang per berita dibayar Rp5 ribu; ada anak perusahaan media nasional yang memberi upah Rp500-700 ribu per bulan, sepanjang 3-6 bulan masa training. Setelah masa latihan selesai, mereka hanya dapat upah penuh Rp1,9 jutaan.
     "Upahmu beneran keterlaluan. Lalu, ketika ada demo buruh di depan Grahadi, kamu disuruh liputan juga?" kata W menirukan pertanyaan dari editor di kantor media barunya. Aku tertawa mendengar pertanyaan itu; kelakar yang segar. (*)

Rangga Prasetya Aji Widodo

Postingan populer dari blog ini

Pergi menuju kaki Gunung Anjasmoro Jombang sambil mabuk perjalanan (1/2)

Pergi menuju kaki Gunung Anjasmoro Jombang sambil mabuk perjalanan (2/2)